RT.02 RW. 23 PERUM UNS V PALUR MEMPERINGATI HARI KARTINI. SABTU, 21 APRIL 2012

Jumat, 14 Agustus 2009

Merevitalisasi makna kemerdekaan

PADA momentum ulang tahun kemerdekaan RI yang diperingati setiap 17 Agustus sejak 1945, bangsa ini perlu merenung dan bercermin pada amanat proklamasi dan amanat konstitusi kita. Proklamasi dimaknai sebagai puncak dari kesepakatan bangsa Indonesia untuk mewadahi kehidupan bersama melalui pembentukan sebuah negara kebangsaan yang merdeka, berdaulat, dan demokratis. Kita senantiasa dituntut untuk merevitalisasi makna kemerdekaan itu sesuai dinamika perkembangan zaman.

Sudah enam dasawarsa lebih usia kemerdekaan, tapi dari perilaku rasanya kita sebagai bangsa belum memahami makna esensi kemerdekaan secara utuh. Kemerdekaan, seperti dicetuskan pada pendiri bangsa (the founding fathers), sesungguhnya bukan hanya sekadar penebus belenggu dan menggusur penjajah. Lebih dari itu, kemerdekaan yang diproklamasikan oleh para pendiri negeri ini mempunyai berbagai makna substantif-fungsional.

Pertama, kemerdekaan merupakan wahana untuk mempersatukan kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi suatu kesatuan yang memang tercerai-berai dalam fragmentasi kesukuan, keagamaan, kedaerahan, dan antargolongan masyarakat.

Kedua, kemerdekaan adalah alat untuk membangun etos dan identitas nasional. Dalam hal ini, kemerdekaan merupakan instrumen untuk membangun jati diri, kepribadian dan kebanggaan sebagai bangsa yang tanggal, yaitu bangsa Indonesia.

Ketiga, kemerdekaan merupakan wahana untuk membangun cita-cita bersama, lembaga politik bersama, bahasa bersama, kebudayaan bersama, nasib bersama, masa depan besarma, dan menyelesaikan persoalan bersama, dan kebhinekaan yang ada. Karenanya, agar kemerdekaan menjadi bermakna, pada esensinya tinggal bagaimana kita sebagai bangsa mampu menempatkan arti kemerdekaan secara proporsional dan komprehensif.

Memetik makna
Pertanyaannya, apa makna yang bisa dipetik di balik serangkaian peringatan HUT Kemerdekaan kita? Yakni, mengingatkan kita bahwa "Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 berdasarkan UUD 1945" tidak lahir karena perjuangan seorang atau sesuatu golongan saja. Tapi berkat pengamalan dan penghayatan budi luhur yang bertumpu pada moral ketuhanan oleh pendiri negara selaku "wakilwakil bangsa Indonesia" tanpa mengenal suku, agama, maupun golongan.

Di tengah derasnya arus demokratisasi, kita sependapat perlunya membangun solidaritas dan merapatkan barisan mengokohkan "modal sosial ", bertandaskan "kecerdasan budaya ". Dengan demikian, mampu menjawab dinamika tantangan zaman pada masa mendatang yang kita kompleks.

Sungguh ironis, di alam merdeka ini kinerja reformasi yang bergulir sejak 1998 maupun implementasinya, hingga kini belum mampu mengikis korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah merusak harkat dan martabat bangsa. Dari waktu ke waktu semangat dan integritas sebagai sebuah bangsa yang merdeka semakin pudar, bahkan memberikan nuansa orang-orang yang terjajah. Nuansa mengenai robohnya tata nilai.

Tegasnya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan bangsa Indonesia untuk memberi makna (meaning) terhadap kemerdekaan. Pertama, menjadikan kemerdekaan sebagai persatuan dan kesatuan bangsa, juga untuk membangun etos dan identitas nasional. Kedua, kemerdekaan juga harus menjadi alat untuk membangun dan menjaga demokrasi, serta membangun rasa hormat terhadap kebudayaan dan tradisi yang berlainan.

Menyikapi carut-marutnya tatanan hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di era reformasi yang telah berlangsung, maka pakar agama, psikologi, dan sosiologi mengatakan bahwa dewasa ini di masyarakat kita mengalami krisis jati diri. Indonesia sedang mengalami krisis identitas yang ditandai oleh tiga hal. Pertama, kontrol sosial masa lalu melemah, dan nilai-nilai baru belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal.

Kedua, terjadinya kekaburan dan ketidakpastian dalam peranan-peranan baru pada masyarakat. Ketiga, terjadinya benturan-benturan antara berbagai kaidah akhlak dan moral serta perilaku dalam masyarakat majemuk.

Degradasi jati diri masyarakat juga menjadi pemicu dan pemacu terjadinya kerusuhan, keberingasan, brutal, destruktif, dan tindak kekerasan yang sangat meresahkan bahkan menakutkan. Semakin sering terjadi dalam masyarakat kita perbuatan yang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Semakin memprihatinkan lagi adanya kecenderungan masyarakat semakin ingin memaksakan kehendaknya. Kita semakin diallenasi (terasing) dari diri sendiri atau sesama karena perilaku yang tidak pantas dianggap sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja.

Sesungguhnya kesadaran politik dan kadar pemahaman akan yang benar dan yang batil dalam masyarakat telah meningkat, tapi di pihak lain tokoh politik yang seharusnya menjadi panutan (tuntunan) justru melakukan perbuatan yang menjadi tontonan yang tak mencerminkan ketokohan. Menyimak realita terjadinya degradasi jati diri ini tidak heran jika masyarakat menjadi sangat kecewa sehingga banyak yang frustasi. Itulah sebabnya, di tengah krisis politik dan krisis moral yang terjadi, maka kita diperingatkan untuk selalu mawas diri agar tindakan kita senantiasa dilandasi nilai-nilai moral keagamaan dan budi luhur.

Dalam keragaman
Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang memiliki wilayah dengan keragaman sumberdaya fisik seperti Indonesia, ditambah dengan kondisi alam tropis yang beragam, serta kondisi harus konsisten membangun dalam keragamanan itu. Sejarah panjang yang melatarbelakangi terbentuknya NKRI menjadi bagian dari betapa beragamnya kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Pernahkah kita berpikir bahwa perubahan besar pernah diajarkan oleh para pendahulu kita? Pelajaran yang paling besar adalah kerukunan dalam keragamannya. Ke depan, potensi keragaman sumberdaya, sosial budaya dan ekonomi yang ada harus menjadi sumber kekuatan baru dalam mengembangkan kerangka pembangunan yang lebih bermanfaat.

Kerukunan merupakan pelajaran utama dari para leluhur kita yang melahirkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Karena kerukunan ini pula telah melahirkan negara ciptaan yang dasarnya adalah keragaman nilai, yaitu Indonesia. Kerukunan berakar dan merupakan cultural capital atau sering juga disebut social capital. Di dalamnya mengandung makna: the way of thinking feeling, believing and behaving".

Juga, terbangun saling menghargai, sympathy dan empathy terhadap orang lain yang berbeda. Kerukunan tak akan terwujud manakala kemerdekaan dan keadilan tak dijadikan landasan dalam membangun masyarakat atau negara. Pada gilirannya, nilai-nilai kemerdekaan yang diwariskan oleh para pendahulu merupakan investasi spiritual, yang mengutamakan unsur keikhlasan berkorban dan mengabdi demi kepentingan orang banyak, sekaligus memberikan keteladanan yang baik.

Proses kemerdekaan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, terus diisi dan diberi makna baru dari waktu ke waktu. Pendek kata, dengan jiwa dan semangat kemerdekaan seharusnya kita makin bangga dan mencintai negeri Indonesia dengan sepenuh hati. Dirgahayu Indonesia Merdeka.

Agus Wariyanto
Mantan Ketua FKPPI
Kota Semarang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar